Harga batu bara kembali merangkak naik pekan lalu setelah anjlok dan terlempar dari level psikologis US$ 400 per ton. Kebangkitan harga batu bara diperkirakan sulit terulang pekan ini karena banyaknya sentimen negatif yang membayangi pergerakan pasir hitam.
Penurunan harga batu bara tentunya tentunta jadi ancaman ekonomi bagi Indonesia yang sudah menikmati surplus neraca perdagangan 30 bulan beruntun. Batu bara menjadi penopang utama, ketika harganya turun surplus neraca perdagangan juga bisa menurun.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (18/11/2022), harga batu bara kontrak Desember di pasar ICE Newcastle ditutup menguat 5,3% ke posisi US$ 337 per ton. Harga batu bara juga terbang 12,52% dalam sepekan.
Dua pekan lalu, harga batu bara bahkan ambruk 14,2%. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara masih anjlok 12,9%.
Kembali naiknya harga batu bara pada pekan lalu disebabkan oleh adanya kekhawatiran pasokan dari Australia.
Gangguan cuaca akibat hujan deras serta aksi protes petugas kapal perusahaan Australia Svitzer dikhawatirkan mengganggu lalu lintas ekspor Australia. Terlebih, Svitzer mengoperasikan sekitar 100 vessel untuk lalu lintas ekspor impor Australia.
Suhu udara yang lebih dingin di beberapa belahan Eropa dan Amerika Serikat pada pekan lalu juga ikut menopang pergerakan harga gas. Batu bara yang menjadi sumber energi alternatif pun harganya ikut naik.
Namun, sejumlah faktor postif tersebut kemungkinan akan mereda pada pekan ini. Analis Industri Bank Mandiri Ahmad Zuhdi memproyeksi harga batu bara akan melandai ke kisaran US$ 300 bawah.
“Kami melihat Harga batu bara dapat tertekan pada minggu ini. Kami perkirakan mungkin belum ke bawah US$ 300/ton, paling rendah di sekitar US$ 300-310 per ton,” tutur Zuhdi kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan salah satu faktor yang menekan harga batu bara pekan ini adalah membaiknya pasokan. Kekhawatiran pasokan batu bara diproyeksi mengendur karena adanya kenaikan ekspor dari Rusia.
Harga gas juga kemungkinan akan turun karena suhu di beberapa belahan Eropa tidak sedingin pekan lalu. Suhu akan lebih hangat pada akhir November dan awal Desember.
Faktor negatif lainnya adalah ancaman resesi serta masih rendahnya permintaan dari China.
Produksi listrik China turun 0,4% pada Oktober 2022 dibandingkan September 2022. Secara tahunan, produksi listrik hanya tumbuh 1,3%, menyusut dibandingkan pertumbuhan 3% yang dicatat pada Oktober 2021.
Menyusutnya produksi menjadi sinyal jika aktivitas ekonomi Negara Beijing masih melambat. Kondisi ini akan mempengaruhi permintaan batu bara mengingat China adalah konsumen terbesar pasir hitam.
Baca Juga tanggapan Gubernur Kaltim Setelah menggelar jumpa pers penerimaan pembayaran dari Bank Dunia sebesar US$ 20,9 juta atau Rp 320 miliar pekan lalu